Selasa, 04 Oktober 2011

Oh…. Kasihan Darsem

Beberapa waktu yang lalu disurat-surat kabar dan media massa televisi memuat berita yang membuat kita mengelus dada. Seorang TKW bernama Darsem yang bebas dari hukuman pancung pemerintah Arab Saudi, tapi bukan itu yang menjadi topik beritanya, selain dibebaskan dari hukuman pancung, Darsem juga menerima uang dari masyarakat Indonesia yang dengan sukarela menyumbangkan uangnya yang awalnya untuk uang tebusan, tetapi pemerintah Indonesia telah membayar uang tebusan tersebut, sehingga Darsem bebas, dan uang yang kurang lebih 1.2 milliar diberikan kepada Darsem. Betul-betul mendapatkan durian runtuh.

Tapi yang sangat disayangkan, uang yang ia terima tidak digunakan untuk hal-hal yang sifatnya membantu sesama, tetapi malah lebih banyak digunakan untuk kepentingan pribadinya.

Dengan uang, kita bisa mengukur karakter seseorang, apakah ia seorang yang pemurah ataukah ia seorang yang kikir.

Kemurahan hati dapat digambarkan secara sederhana sebagai mengubah fokus dari diri sendiri kepada sesama. Padahal menurut Seneca, Seorang pujangga Romawi; “Orang yang hanya memikirkan dirinya sendiri, yang mengubah segalanya demi kepentingannya sendiri, tidak mungkin bahagia”.

Orang yang bermurah hati sebenarnya mereka sedang menghormati Tuhan, sang pemilik alam semesta ini, dan apabila Tuhan yang pemilik alam semesta ini kita hormati, maka Ia akan dengan senang hati melimpahkan kita dengan segala kemakmuran.

Dalam kehidupan ini, ukuran seseorang bukanlah banyaknya orang yang melayaninya atau jumlah uang yang diakumulasikannya; melainkan berapa banyak orang yang ditolongnya.

Ruths Smeltzer, mengatakan:
Anda belum menjalani hari yang sempurna, walaupun Anda telah mendapatkan uang, kecuali Anda telah melakukan sesuatu bagi seseorang yang takkan pernah dapat membalasnya.

Kebesaran bukanlah didefinisikan oleh apa yang diperoleh seseorang, melainkan oleh apa yang diberikannya.

Kemurahan sejati bukanlah tergantung kepada penghasilan – itu dimulai dari hati. Kemakmuran dan penghasilan yang tinggi tidaklah membantu orang menjadi lebih murah hati. Orang memberi bukanlah dari puncak dompetnya, melainkan dari dasar hati.

Oh… betapa kasihan engkau Darsem. Kita hidup hanya sekali didunia ini, satu-satunya hal yang orang ingat tentang kita bukanlah berapa banyak uang yang kita raih, yang mereka ingat adalah apakah kita orang yang bermurah hati.



Bagaimana pendapat Anda?


Salam
dma.setiawan

6 komentar:

  1. Ketika Darsem mau dihukum pancung kita bilang "kasihan darsem" lalu setelah ia bebas dan berhasil mengeruk hasil dari "kasihan" masyarakat Indonesia kita juga bilang "kasihan Darsem". Dua kata yang bertentangan makna dan situasinya. akhirnya "kasihan darsem".

    BalasHapus
  2. sayang sekali yah.. Sifat tamak tak lepas dari diri manusia, dan terkadang sifat tersebut berkuasa sehingga menjadikan lupa diri.. Semoga saja beliau sadar dari perbuatan nya

    BalasHapus
  3. sayang sekali yah.. Sifat tamak tak lepas dari diri manusia, dan terkadang sifat tersebut berkuasa sehingga menjadikan lupa diri.. Semoga saja beliau sadar dari perbuatan nya

    BalasHapus
  4. @ Mas Mukti
    Kasihan yang pertama karena rasa iba, kasihan yang kedua karena ia menyia-nyiakan kesempatan hidup yang diberikan Tuhan

    BalasHapus
  5. DeWay@Benar bos. yaaaa, kita hanya mengelus kaki eh salah dada melihat si Darsem. Kalau tahu gini, tidak mungkin rakyat akan membantunya sedemikian luar biasanya.

    BalasHapus
  6. Memang benar, kualitas sesungguhnya sebuah manusia bisa dilihat dari bagaimana dia memperlakukan sesuatu. Apakah itu untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain.

    Dalam kasus ini, saya berharap Darsem bisa sadar dan kembali ke jalan yang benar. *selagi uangnya masih ada tentunya*

    BalasHapus